A. PENGERTIAN
AGAMA DAN LAHIRNYA AGAMA SUKU
Banyak
ahli agama suku maupun agama-agama moderen mendefisikan dari masing — masing
pandangan yang berbeda. Semua pandangan itu dirasa bahwa dengan agama akan
mendapat suatu kepastian hidup yang menyentuh. Agama secara liberal
mendefisikan sebagai suatu identitas diri yang dirasa penting bagi setiap
insan. Karena itu dalam tulisan ini dapat mendahului dengan "pengertian
agama, suku" dan " lahirnya agama suku".
1. Pengertian
Agama
Berikut ini adalah beberapa pengertian penting tentang
agama :
a. (Agama
menurut bahasa latin, dapat dibagi menjadi dua kata yaitu; "a"
artinya "tidak" dan "gam" berarti" kacau". Jadi
"agama" berarti tidak akan acau.
b. Hendropuspito
menjabarkan bahwa agama tidak ditimba dari "pewahyuan" yang datang
dari "dunia luar", tetapi diangkat dari eksperiensi, atau pengalaman
konkret sekitar agama yang dikumpulkan dari sana-sini baik dari masa lampau
(sejarah) maupun dari kejadian-kejadian sekarang.
c. Hans Kung
seorang tokoh agama Katolik, dikutip oleh Subandrio, dan pandangannya bahwa
agama merupakan sesuatu yang ada dalam diri manusia untuk dihayati, bukan
sekadar konsep teknis yang abstrak, merupakan iman yang konkret, bukan sekedar
lembaga. Agama selalu menyangkut basic trust (dasar kepercayaan) seseorang akan
hidup. Agama memberikan makna yang konprehensif tentang hidup, menjadi jaminan
bagi nilai-nilai tertinggi dan norma-norma yang bersifat tanpa syarat,
memberikan komunitas dan rumah rohani. Lebih menegaskan bahwa Agama berdasarkan
fenomena ialah segala aktivitas hidup manusia dalam usahanya untuk mewujudkan
rasa bakti dan merepresentasikan keterhubungan manusia dengan suatu kuasa yang
diyakini bersifat supra natural dan mengatasi dirinya.
d. Secara
ethimologi dapat mendefinisikan bahwa agama merupakan suatu kegiatan yang
dilakukan oleh manusia secara individu maupun komunitas melalui upacara-upacara
ritual untuk menghadirkan sesuatu yang diharapkan atau meyakini dalam hidupnya.
Agama merupakan suatu kumpulan kejadian-kejadian yang dirasa penting sehingga
dapat menganalisis sesuai kondisi realita yang dialami maupun pewahyuan yang
diterima dari Allah.
2. Suku
Suku
dapat didefinisikan sebagai bangsa kesatuan sosial yang dapat didekati dari
kesatuan sosial lain berdasarkan kesadaran akan identitas perbedaan kebudayaan.
Didalam kesukuan ini terdapat suatu kepercayaan yang dirasa penting dan harus
bertindak melalaui bakti diri dalam keagamaannya.
3. Lahirnya
Agama Suku
Agama
suku lahir disebabkan karena beberapa faktor, seperti yang dikatakan oleh Pdt.
Dr. Benny Giay (Akhir Februari 200.5) "perasaan ketidak berdayaan, ketidak
pastian, yang ada •pate TTiariusia, kesakitan dll". Lahir dan
berkembangnya "agama-agama" termasuk agama suku telah digambarkan
oleh Hendropistito (1983; 13) bahwa "benih-benih minat kepada fenomena
agama sudah mulai tumbuh sekitar pertengahan abad ke-19 oleh sejumlah sarjana
Barat terkenal seperti; Ward B, Taylor (1832-1817), Herbert Spencer
(1820-1903), Friendrich H, Muller (1823-1917), Sir James G. Frraser (1854-1941).
Tokoh-tokoh ini lebih tertarik kepada agama primitif. Pengkajian masalah agama
oleh tokoh ~ tokoh tadi secara ilmiah mulai terbina sekitar tahun 1900. Mulai
saat itu sampai menjelang 1950 muncul (buku-buku sosiologi agama yang sering
disebut dengan sosiologi agama klasik. Masa periode kalasik dua orang sosiolog
menampilkan diri melalui penulisannya yaitu; Emile Durhem dari Francis
(1858-1917) dan Max Weber dari Jerman (1864-1920).
Religi
suku murba dipakai sebagai kata sederhana terambil dari kata "agama
suku" sehingga hal itu dapat dijelaskan oleh Hadiwijono (2003; 1) bahwa
"religi bersahaja atau religi primitif, karena ;
Pertama : Ada prasangka bahwa suku-suku bangsa yang masih
bersahaja itu secara kebudayaan dan keagamaan menunjukkan suatu kesatuan.
Belakangan timbul berbagai macam dengan gagasan yang sana, sehingga religi yang
banyak itu disebut "religi bersahaja".
Kedua : ada anggapan bahwa religi umat manusia mengalami
suatu evolusi atau perkembangan, (yaitu (dari (bentuk (yang (rendah (ke (bentuk
(yang (tertinggi.Anggapan ini dipengaruhi oleh gagasan Charles Darwin tentang
evolusi sejak abad-19 religi manusia yang berkembang dari bentuk rendah ke
bentuk tertinggi, tampaknya dalam agama Kristen.
B. MAKNA
AGAMA SUKU PERSFEKTIF MITOS
Kata
mitos berasal dari bahasa Yunani Muthos, yang secara harafiah diartikan sebagai
cerita atau sesuatu yang dikatakan seseorang; dalam pengertian yang lebih halus
bisa berarti suatu pernyataan, sebuah cerita, ataupun alur suatu drama. Kata
mythology dalatn bahasa inggris menunjuk pengertian, baik sebagai studi atas
mitos atau isi mitos, maupun bagian tertentu dari sebuah mitos. Semua suku
bangsa memiliki legenda atau mitos yang berbeda, termasuk pula dengan
agama-agama suku. Masyarakat suku masa kihi seolah-olah merupakan ..kenyataan
sejarah, meskipun sang pencerita menggunakannya untuk
mendukung-kepercayaan-kepercayaan dari komunitas. Karena itu lebih praktis maka
agama suku'dari mitos oleh Dhavamony dapat referensikan; sebagai berikut;
(1) Mitos dan
cerita profan yaitu cerita masyarakat yang berskala kecil dengan penuh arti,
(2) fungsi mitos
dalam kebudayaan masyarakat suku ialah mengungkapkan, mengangkat dan merumuskan
kepercayaan, melindungi dan memperkuat moralitas, menjamin efisiensi dari
ritus, serta member! peraturan-peraturan praktis untuk menuntun manusia. Karena
mitos dan agama baginya sebagai satu kesatauan tersusun memainkan peran penting
dalam hidup sosial kemasyarakatan:
(3) Realita mitos,
Dhavamony meminjam kata-kata oleh Malinowski dengan berpendapat bahwa
"mitos, sebagaimana ada dalam suatu masyarakat primitif, bukan semata-mata
cerita yang dikisahkan, tetapi juga merupakan kenyataan yang dihayati. Lebih
lanjut mitos merupakan daya aktif di dalam kehidupan masyarakat primitif.
Dengan realitas, Malinowski memaksudkan bahwa mitos menjadi penghubung dari
institusi-institusi sosial yang ada.
(4) Batasan mitos.
Mitos mengisahkan sejarah suci, serentetan peristiwa yang terjadi pada awal
mula, pada masa primordial, waktu dari segi permulaan. Mitos menceritakan
perbuatan dan tindakan pada makhluk adikodrati pada mula, yang menyebabkan
dunia atau suatu bagian dari dunia menjadi ada, sebagaimana sekatang ini.
Selanjutnya mitos menceritakan berbagai peristiwa nyata yang terjadi, misalkan
terjadinya suatu pulau, tanjung, jenis tanaman dll. Sebagai pelaku dalam mitos
adalah makhluk-makhluk adikodrati yang bertanggung jawab atas segala sesuatu
sebagaimana adanya sekarang, karena kenyataan yang ada dihadapan kita adalah
akibat dari tindakan mereka pada awal mula.
(5) Beberapa macam mitos; yaitu; Pertama; mitos penc^ta;
dalam arti sempit yahni; mitos yang menceritakan penciptaan alam semesta yang
sebelumnya sama sekali tidak ada. Mitos jenis ini melukiskan penciptaan dunia
lewat pemikiran, sabda, atau usaha dari seorang dewa pencipja,. Kedua; mitos
frqsmologi yahi mitos yang mengisahkan 'penciptaan alam semesta, hanya saja
Dfigjjgan tersebut menggunakan sarana yang sudah ada, atau dengan Tjgq jenis
mitos kosmologi yang utama;
(a) mitos-mitos
yang menyoroti "penyelamatan kosmologi". Dewa pencipta, entah diri
sendiri atau seekor binatang yang diutus, atau seorang tokoh mitis, menyelam ke
dasar penangan air primordial untuk mengambil kembali segenggam lumpur dari
bahan mana bumi dibentuk.
(b) Mitos-mitos yang melukiskan penciptaan lewat cara
pemilihan zat-zat primordial yang mulannya tak terbedakan. Ada tiga macam
fariasi; (i) mitos mengenai orang tua dunia, kesatuan primitif memperlihatkan
pasangan langit dan bumi dalam satu pelukan dan penceraian diantara mereka
menyebabkan terjadinya peristiwa kosmologik; (ii) Suatu negeri primordial
digambarkan sebagai suatu gumpalan yang tak terbentuk atau keadaan yang kacau
balau, (iii) Kesatuan awali dikandung dalam bentuk sebuah telur yang
terapung-apung di air purbakala. Penciptaan dimulai dengan pembuaian telur.
(c) Mitos-mitos yang mengisahkan peristiwa kosmologi
sebagai akibat penyembelian manusia pertama atau raksana laut Ophidia.
Ketiga; ada
mitos-mitos asal usul; yang mengisahkan asal mula atau awal dari segala
sesuatu, seekor binatang, suatu jenis tumbuhan, sebuah lembaga, dan sebagainya.
Keempat; mitos-mitos mengenai para dewa dan para makhluk
adikodrati lainnya. Mitos jenis ini mengisahkan bahwa setelah selesai
menciptakan dunia dan manusia, Yang Mahatinggi meninggalkan mereka dan
mengundurkan diri ke langit; sedangkan para dewa maupun para makhluk adikodrati
lainnya ada yang melengkapi proses penciptaan tadi.
Kelima; mitos-mitos
yang berkaitan dengan kisah terjadinya manusia. Manusia diciptakan oleh Tuhan
dari suatu bahan mentah, misalnya dari lumpur (pada suku Yoruba di Nigeri),
atau dari batu (mitos-mitos di Indonesia dan Melanesia), dari tanah (Oceania),
atau dari seekor binatang (Asia Tenggara). Manusia pertama diciptakan oleh Ibu
Bumi dan Bapa Langit lewat persetubuhan suci mereka, atau oleh dewa dengan
jenis kelamin ganda, atau diciptakan dari tanah atau tanaman oleh.tuhan
pencipta.
Keenam; mitos-mitis yang berkenaan dengan tranformasi
ayitu perubahan-perubahan keadaan dunia dan manusia dikemudian hari.
C. GAMBARAN
UMUM AGAMA-AGAMA SUKU DI PAPUA
Masyarakat
suku di Papua (kurang lebih 250 suku) memiliki-masing-masing agama. Agama-agama
suku dimaksud andaikan frame of reference (kerangka acuan) sebagai fundamental
yang layak diakui secara lokal. Kehidupan masyarakat suku tidak menyimpang dari
kerangka acuan yang rasa tertolong sekaligus berperan dalam kehidupannya.
Masyarakt suku memahami bahwa didalam kerangka acuan itu mengandung unsur-unsur
dan nilai-nilai suci dansangat sakral yang ditetapkan oleh dewa tertinggi atau
adikodrati. Gambaran umum agama-agama suku di Melanesia (Papua) dijelaskan oleh
Agus Alua, sebagai referensi dari bukus yang.ditulis oleh Menurut Darrell
Whiteman, dapat merumuskan 3 (tiga) pokok penting ;
1. Paham
"Epistemologi" dalam pikiran agama suku di Papua
Epistemologi
menurut Sidjabat (1994 : 28) "Penyelidikan tentang sumber, sifat, metode
dan keterbatasan pengetahuan . manusia". Selanjutnya Epistemoplogi sering
diartikan sebagai "teori pengetahuan". Epistemologi bagian agama suku
di Papua memiliki tujuan yang sangat signifikan, yaitu untuk mengetahui sesuatu
yang berhubungan dengan pengetahuan tentang asal-usul, hakekat dan batas-batas
pengetahuan. Paham epistemologi selalu dilandasi dengan berbagai pertanyaan
sebagai kerangka berfikir secara logis dan sistemaris untuk menyelidiki sumber,
sifat serta asal-usulnya.
2. "Pandangan
Dunia" orang Papua
Pandangan
orang yang dianut agama suku terbagi kedalam dua bagian;
(a) Bagian-bagian empiris, yang mencakup lingkungan alam,
sumber-sumber ekonomi, duniua binatang dan dunia manusia. Singkatnya segala
sesuatu yang dapat disentuh dan dilihat.
(b) Bagian-bagian non-empiris, yang mencakup adanya
roh-roh, kekuatan ilmu-ilmu gaib tak berkepribadian dan kadang-kadang
totem-totem.
Kosmos (alam
semesta) non-empiris selalu terkait dengan tempat penghunian bagi ilah, roh-roh
halus, leluhur, roh-roh jahat, totem dll. Semua yang tinggal dalam kosmos
non-empiris selalu dekat dengan manusia dengan meminjam berbagai simbol
tertentu seperti; manusia, ular, batu, pohon dll. Kekuatan-kekuatan itu
menjelma dalam wujud empiris dalam ruang dan waktu tertentu.
3. Nilai Sentral
bagi orang Papua : "Kehidupan"
Nilai yang
paling mendasar bagi penganut agama suku di Papua adalah kehidupan. Whiteman secara konkret lebih
ditegaskan dengan tiga pandangan penting; (a) kelangsung hidup (continuation of
life), perlindungan atas hidup (protection of life), dan pemeliharaan hidup
(celebration of life). Dalam penghidupan manusia yang dianut agama suku selalu
keteriibatan dalam kegiatan sebagai model hidup demi kelangsungan hidup yang
lebih baik dan sempurna adanya. Masyarat agama suku tidak membiarkan begitu
saja sekalipun ada serangan, ancaman atau musibah melanda dalam kehidupannya,
untuk mengganggu nilai-nilai religi maupun culturalnya. Mereka sangat
senderung dengan berbagai kegiatan ritus-ritus yang memulihkan hubungan baik.
Karena itu mereka selalu integrasi dengan kekuatan-kekuatan tertentu yang dapat
ditolongnya secara periodik. Integrasi ini lebih cendrung mewujudkan melalui
upacara-upacara keagamaan pada tempat-tempat tertentu yang dianggap ada
penghuni yang memiliki kekuatan gaib yang menjawab masalah yang dialaminya,
seperti di kali, gunung, goa, di tempat-tempat keramat dll. Whiteman mencatat
bahwa 'milai sentral dan fundamental orang Malanesia tentang kehidupan
kosmologi ini dipertahankan terutama rnelalui dua cara, yaitu ;
a. Melaiui
relasi-relasi yang benar atau tepat, baik antara manusia maupun dengan roh-roh
atau arwah-arwah, baik yang masih hidup maupun telah mati
b. Melalui
pengumpulan kekayaan orang setempat dalam bentuk pesta babi, kulit bia, dll.
Agama-agaam
suku di Papua terus menerus berkembang karena pada dasarnya ilah penghidupan
yang baik dalam kelangsungan hidupnya. Bagi. masyarakat hidup ini lebih penting
dari pada benda-benda yang lain. Segala kegiatan yang dibuatnya sebagai
sandiwara belaka dalam rangka mementingkan hidup sebagai masyarakat beragama.
D. KARAKTERISTIK
DASAR AGAMA-AGAMA SUKU DI PAPUA
Masyarakat
penganut agama suku memiliki karakter tertentu yang berpasrah kepada yang alam
gaib. Karena dipahami bahwa segala yang ada dalam kosmos ini dijadikan serta
diciptakan oleh yang gaib, sepertinya langit, bumi, manusia serta segala
isinya. Bagi masyarakat suku, agama atau suatu kepercayaan kepada adikodrati
adalah sarana penting dalam rangka upaya mengeratkan tali persaudaraan yang
harmonis dengan kuasa gaib. Berikut ini adalah beberapa karakteristik dasar.
yang di tulis oleh Agus Alua sebagai referensi dari yang ditulis oleh Whiteman
;
1. "Agama
yang dinamis" dalam agama-agama di Papua Barat
Agama yang
ditekuni melalui upacara-upacara ritual terpenting bagi orang Papua ialah
bersifat dinamis. Agama yang dimanis ini selalu dipegang serta turut-berperan
aktif dalam penghidupan masyarakat suku. Bagi mereka agama itu bagian dari
integral yang sukar dilepaskan dari kehidupan dan pergumulannya. Agama yang
diyakini oleh masyarakat suku dirasa memiliki nilai yang cukup ideal dan
dinamis dimana masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang harus dipegang sebagai
sarana komunikasi dengan yang alam gaib.
Masyarakat
yakini dengan agama yang dinamis karena selalu ada perkembangan dalam berbagai
bidang kehidupan sehingga semua penganutnya tidak pernah terjerumus dalam
berkekurangan, keterbatasan serta dalam berbagai musibah. Selain itu masyarakat
beragama suku berkomit karena didalamnya hendak menemukan jalan pelepasan dan
kebebasan dari kekerasan, penindasan, pembunuhan, kematian serta timbulnya
malapetaka yang menimpah.
2. Agama-agama
yang berorientasi pada "Kelimpahan hidup"
Hidup
berkeiirnpahan adalah keselamatan yang kokoh bagi masyarakat pribimi di Malanesia.
Hidup dalam dunia adalah hidup yang penuh berkeiirnpahan, dengan didalamnya ada
keselamatan, sukacita, damai, kemenangan, kecukupan, keindahan serta segalanya
yang tidak mendatangkan malapetaka untuk mengganggu dalam pelaksanaan
aktivitasnya. Kaitannya dengan itu Satria S, Susanto dijelaskan bahwa
Masyarakat Jayawijaya mengakui adanya jaman kelimpahan yang telah dihidupi oleh
leluhurnya sehingga masyarakat suku yang hidup kontemporel ini menjadi harapan
dan upaya menghadirkan jaman yang penuh berkeiirnpahan itu diatas puing-puinya
demi "hubungan baik dengan pencipta Walhowak. Yang meliputi suken, hareken
koneke dan para leluhur nelalui tugi, langit, bumi dan matahari sebagai unsur
kosmos" (Astrid; 1994; 61). Kelimpahan hidup bagi orang Me telah menjadi realita
dan juga menjadi harapan, ketika masyarakat aktif dalam kegiatan
"ay/-ay/7" yang menghasilkan berbagai material yang berperan dalam
kelangsungan hidupnya. Secara ajaib "Koyeidaba" juga dinyata jaman
kelimpahan itu dengan metode ramasan pada seluruh anggota tubuhnya. Karya nyata
"Koyeidaba" mengisahkan untuk menggumuli dan upayakan hidup yang
penuh berkelimpahannya. Masa keemasan pernah dikisahkan oleh seorang pelopor
yaitu 'Serador" di kalangan suku Waropen seperti yang dikatakan oleh
Wariori Marthen (19.....). la kadang berubah seperti seorang pemuda perkasa
dan juga sebagai manusia buruk. Masyarakat suku Waropen sedang ada dalam posisi
upaya menghadirkan zaman keemasan yang pernah dirasakan oleh orang-orang
leluhurnya. Karena itu sekitar 250 suku lebih yang ada di Papua mempunyai
harapan yang sama menghadirkan zaman yang telah menjadi realistis bagi nenek
moyang.
3. Pentingnya
"Ritual yang mujarab" dalam agama orang Papua
Agama suku
di Papua memahami dengan dua bidang penting dalam kehidupannya. Hal yang
pertama ialah mengaitkan obyek yang kelihatan, seperti kebun, danau, kali,
gunung, lembah dll, dan kedua ialah serentak mengaitkan pula sumber-sumber
hidup yang tak kelihatan seperti kekuatan, daya dan keberuntungan. Kedua hal
ini sangat penting bagi masyarakat suku di Papua sehingga upaya mereka yang
satu-satunya ialah melalui agama. Agama bagi masyarakat suku dianggap sebagai
sarana atau alat penunjang untuk memperpadukan suatu obyek yang kelihatan dan
sumber-sumber kekuatan yang tak kelihatan. Hasil yang diharapkan sangat
tergantung pada kegiatan ritual baik keberuntungan maupun malangnya.
Keberuntungan adalah kesuksesan ritual, dan kemalangan adalah kesalahan dalam
pelaksanaan ritual. Ketetapan ritual mencapai tujuan telah ditentukan oleh
tokoh-tokoh leluhurnya pada zaman primordial, menurut tradisi masyarakat
penganut agama-agama primitif.
4. Pentingnya
"Kerahasiaan" agama-agama suku
Ada
agama-agama lain selalu bersifat misteri yang tersembunyi secara individu,
keluarga, dan etnosentrik berhubungan dengan kesejahteraan mereka. Karena
baginya ilmu yang terperoleh adalah satu-satunya jalan untuk memperoleh
kekuatan (power) yang berasal dari adikodrtai. la merasa bahwa kekuatan yang
diterima dianggap sebagai milik pribadi atau diberikan secara khusus demi
kepentingan keluarga tetapi juga berguna demi kepentingan banyak orang.
Masyarakat agama suku di Papua dikampung-kampung umumnya tidak terbuka untuk
memberitahukan hal-hal prinsip yang paling penting dan mendasar dalam hidupnya.
Seperti di Paniai nama Allah diterjemahkan dengan "Ugatame"
(manusia unggul, pencipta). Namun nama Yesus sangat sulit diterima
penerjemahannya dengan "Koyeidaba", tetapi Yesus dalam bahasa Baliem
adalah "Nakmarugi" atau "Naruekul", demikian pula dengan
"Yefun" yang dianggap sebagai kuasa tertinggi dalam kepercayaan Suku
Meybrat. Kata Yefun berasal dari Bahasa Madik, yang terdiri dari dua kata;
"Ye"artinya "manusia" dan kata Tun"sering diartikan
sebagai "manusia sejati". Jadi, kata "Yefun" dapat
diartikan sebagai "manusia sejati". Suku Meybrat menganggap
"Yefun" sebagai manusia pertama, manusia asli, agung, tinggi, luhur,
kuasa illahi yang baik, pemberi hidup dan pemelihara alam semesta (Heriyanto;
2003; 27). Karena itu bagi masyarakat suku terdahulu menyebut namanya pun mesti
melakukan dengan rasa penuh hormat, keseganan, bahkan terkesan takut. (Albertus
Heriyanto, 2003; 24). Persoalannya ialah bahwa nama-nama adikodrati yang ada
dalam masing-masing suku atau etnis itu sangat sakral dan tjarang diungkapkan dihadapan
publik. Kalau terbuka dihadapan orang lain maka bobot kesakralannya akan
berkurang, tidak efektif, dan bisa menjadi ancaman bagi kelompok atau pribadi
yang bersangkutan.
5. Kepercayaan
pada "Para leluhur" dalam agama-agama suku
Satu
karakteristik penting yang lain dalam agama-agama suku di Melanesia khususnya
di Papua adalah kepercayaan kepada roh-roh para leluhur mereka. Kepercayaan
kepada arwah-arwah leluhur di daerah lain rasa tidak penting seperti Vanuatu di
PNG, namun di daerah lain kepercayan itu dirasa otonom dan kreatif. Di lembah
Balim sangat dibutuhkan arwah-arwah orang penting yang telah mati sepertinya
panglima perang, orang kaya, serta lainnya. Tidak kalah juga di daerah orang
Muyu, arwah orang mati dianggap sebagai pembawa kesuburan dan keselamatan
seperti yang dikatakan oleh Schoorl (1997; 181) bahwa di daerah
"Kawangtet" dan "Yibi" arwah itu disebut tawat, di Yiptem,
Metomka dan di Kakuna adalah katerok, di Woropko mberdan Tumutu beket. Karena
itu Schoorl dibagi tiga hal penting yang dilakukan oleh orang Muyu terhadap
arwah orang Mati; pertama penguburan orang Mati dan sikap terhadap mereka,
kedua; Tempat arwah; alam arwah, dan ketiga Peranan arwah dalam kehidupan orang
Muyu. Arwah orang kaya menurut agama suku di daerah Muyu khususnya di daerah
Yibi dan Kawangtet simbol seperti "benep" artinya buaya. Karena
masyarakat Muyu layak mengikuti langkah-langkah tadi terhadap arwah orang Mati
sebagai harapan mendatangkan keselamatannya.
6. Orang Papua
percaya pada "Roh-roh yang Imanen"
Masyarakat
di Papua yang menamakan diri sebagai penganut agama suku tidak memiliki
kepercayaan akan suatu "Roh Agung" (the Great Spirit). Namun lebih
cenderung menurut "Darrel Whiteman" lebih menegaskan bahwa setiap
bukit, gunung, lembah. kali, sungai, rawah dan lain'-lain mendiami
masing-masing roh sebagai pengontrol penguasa lingkungan alam disekitarnya. Manusia
selalu kontak dengan roh-roh yang disekitarnya sesuai metode keagamaannya.
Kontak dengan roh-roh imanen dapat dipilih orang-orang tertentu yang dirasam
mampu menyimpan rahasia komunikasinya. Roh-roh imanen lebih cenderung menerima
kata-kata yang diucapkan oleh manusia khusus tadi untuk menjawab bila ia
menjaga kesucian sesuai petunjuk atau kehendak si penerima doa itu.
7. Pentingnya
"Relasi Resiprositi" dalam agama-agama suku
Salah satu
kepercayaan masyarakat Priburni ialah relasi yang akrap dan harmonis. Kaitannya
dengan "relasi Resiprositi" adalah hubungan pertalian yang
mengika^jsalkan; yang dilakukan melalui pertukaran barang dengan jasa, perkawinan,
persaudafaag-serta melalui kontak lainnya. Dengan metode ini
akan menciptakan pasangan atau patner kerja yang baik untuk menciptakan suatu
hubungan bersabahan yang harmonis. Model relasi-relasi manusia yang terjadi
pada orang Papua ini diproyeksikan juga terhadap relasi dengan dunia
supernatural, yaitu hubungan antara makhluk manusia, roh-roh dan arwah leluhur
disana akan ada damai dan kernakmuran. Hubungan ini dapat terkait antara dua
pihak yang saling menguntungkan yaitu manusia bergantung pada roh-roh
leluhurnya demi kesejahteraan hidupnya demikian pula roh-roh leluhur juga
tergantung pada manusia bagi kesejahterannya. Hubungan ini adalah relasi yang
tercipta serta terbentuk dalam rangka tolong-menolong, saling melengkapi,
saling membutuhkan serta saling menghargai demi kesejahteraan dan
kemakmurannya.
8. Agama-agama
suku di Papua yang "Tidak bersifat Misioner"
Agama adalah
suatu institusi yang terbentuk serta terorganisir untuk menyampaikan
karya-karya Allah yang diterima melalui pewahyuan kepada umat yang dilayaninya.
Untuk mewujudkan visi itu selalu ada misi dan mereka perlu dilatih atau
mentransferkan kepada orang lain yang akan berperan sebagai penyiar. Namun
agama-agama suku di Papua pada umumnya "tidak bersifat Misioner"
mengingat ciri-ciri dan makna dari agama itu yaitu; agama suku lain bersifat
khusus, keluarga, etnis tertentu serta bersifat umumnya namun tidak tersiar
mengingat berbagai pertimbangan mendasar. Agama suku di Papua tidak misioner
bila dibanding dengan agama-agama besar yang dilaksanakan dibawah rodah
keorganisasian secara sistematis seperti; Agama Kristen, Islam, Hindu dan
Budha. Mayarakat Melanesia dan dalam konteks Papua kita perlu mencatat bahwa
masyarakjat lebih percaya dan efektif bagi hidupnya dari pada agama Kristen, karena
itu rahasla terdalam dari agama mereka tidak pernah disampaikan sepenuhnya
kepada orang luar, sebab jika demikian akan mengurangi bobot efektivitasnya dan
menjadi agama yang tidak berguna bagi hidupnya. Sementara itu orang Malanesia
dan Papua sendiri sebenarnya tidak menolak agama luar tetapi membiarkannya
hidup sebab agama itu sangat efektif bagi pembawaannya sendiri (misionaris).
Menurut pengamatan kami dalam konteks Malanesia juga orang Papua merasa bahwa
agama Kristen yang diwartakan itu sebagai sesuatu yang asing, yang kurang
banyak menyentuh terhadap masalah, pergumulan dan kebutuhan hidupnya.
E. PERAN DAN TUJUAN AGAMA SUKU
Manusia
pada dasarnya tidak celah dihadapan yang maha suci atau tinggi. Karena dalam
agama suku lebih cenderung bahwa "Dosa adalah apa yang merusak atau
menodai daya hidup dari orang lain, dan lebih khusus lagi daya hidup dari
kerabat keluarga". Dengan akibat dosa itu segala bentuk relasi terputus
yaitu manusia dengan Tuhan, manussia dengan manusia serta manusia dengan alam
lingkungan. Karena asumsi dasar bagi penganut agama suku di Papua bahwa peran
agama adalah upaya mencari keselamatan dan perlindungan yang sejati serta yang
lebih berbahagia. Karena itu tujuan utama dari Agama suku .adalah hanya
"keselamatan" yaitu hidup yang baik antara manusia-alam lingkungan
dan-yang suci. Keselamatan itu ada karena dirasa manusia ada dalam keadaan
berbahaya yang perlu ditolong dan mendokratnya.( Dhavamony; 1995; 293).
F. BENTUK-BENTUK
AGAMA SUKU
Agama
suku terdapat beberapa bentuk, ciri .dan karakter yang berbeda. Perbedaan itu
nampak ketika melaksanakan upacara-upacara, simbol-simbol kepercayaan, dan
obyeknya yang diuraikan berikut ini.
1. Animisme
Animisme
berasal dari perkataan Latin, "anima" artinya "nyawa".
Karena itu animisme adalah kepercayaan kepada sesuatu yang tidak berpribadi.
Animisme dapat didefinisikan sebagai kepercayaan pada makhluk-makhluk
adikodrati yang dipersonalisasikan. Namun menurut Dhavamony (1995; 67)
Kepercayaan terhadap animisme adalah "Ide tentang kekekalan jiwa muncullah
upacara untuk orang mati, terutama dalam bentuk pemujaan leluhur". Lebih
lanjut dijelaskan bahwa kepercayaan ini lebih menitikberatkan pada Roh yang
Maha Tinggi hingga pada roh halus yang tidak terhingga jumlahnya, roh leluhur,
roh dalam objek-objek alam. Karena itu bagi Dhavamony dibagi kedalam 4 bagian;
a). Roh yang berhubungan dengan manusia, yahni jiwa-jiwa manusia sebagai daya
vital, roh leluhur, roh jahat dari orang-orang yang meninggal dalam
kondisi-kondisi wajar; 2) roh yang berhubungan dengan objek-objek alamiah bukan
manusia, seperti air terjun, batu yang menonjol kepermukaan bumi, pohon-pohon
berbentuk aneh, roh dari tempat-tempat yang berbahaya, roh binatang, roh dari
benda-benda di angkasa; 3) roh yang berhubungan dengan kekuatan alam, seperti
angin, kilat, banjir; 4) roh yang berhubungan dengan kelompok-kelompok sosial,
dewa-dewa, setan-setan dan para malaekat. Karena itu disimpulkan bahwa
kepercayaan terhadap animisme lebih cenderung pada kekuatan-kekuatana gaib yang
tidak keiihatan. Animisme bersifat universal karena ia terdapat pada semua
agama-agama didunia. Kruyt adalag seorang pendeta nasrani yang pernah pelayani
dikalangan orang Taraja di Sulawesi tengah. la berkata manusia primitif atau
manusia zaman kuno itu pada umumnya yakin adanya suatu zat halus yang memberi
kekuatan hidup dan gerak kepada banyak hal di dalam alam semesta ini. Zat halus
menurut Kruyt terdapat beberapa bagian tubuh manusia; binatang dan
tumbuh-tumbuhan. tetapi sering juga dalam benda (Koentjaraningrat; 1980; 63 ).
2. Dinamisme
Dinamisme
berasal dari perkataan Yunani "dunamis" artinya; kekuasaan,
kekuaatan, kasiat (Hinug.; ^997; 33). Dalam ilmu pengetahuan
"dinamisme" jarang dijumpai selain kata "mana". :Karena itu
secara etirnologi, Dinamisme ialah kepercayaan kepada suatu daya-kekuatan atau
kekuasaan yang keramat dan tidak berpribadi, yang dianggap halus maupun
berjasad yang dapat dimiliki maupun tidak dimiliki oleh benda, binatang dan
manusia. Kepercayaan dinamisme selalu ada hubungan dengan benda-benda keramat,
karena didalamnya sesuatu yang mengandung daya atau kekuatan gaib yang
dipandang mendatangkan pengaruh yang baik menyangkut keselamatan manusia,
misalnya kemenangan dalam perang, membawa kesuburan tanaman dll. Benda-benda
keramat dapat dilihat berupa batu-batuan, daunan, batang kayu serta jenis
lainnya. Bagi orang Me di Paniai sering benda-benda itu dibawa bila ia pergi ke
tempat berperang atau jauh dari kampung halamannya dalam rangka berbisnis. Selain
itu benda keramat lain ditanam pada tempat-ternpat tertentu yang dianggap
penting dan sasaran datangnya serangan luar. Manusia yang memiliki benda-benda
keramat memiliki sikap yang menyangkut "awasan" dan
"berhati-hati" terhadap pelanggaran norma yang digariskan supaya
kekuatan gaip tetap menjadi utuh dan kuta. Dalam penggunaan dan penentuan nasip
dan keselamatan itu selalu diawali dengan upacara-upaca tertentu sehingga
hendak menjumpai berbagai bentuk persoalan yang akan dialaminya.
3. Kepercayaan
kepada dewa-dewa tertinggi
Kepercayaan
kepada dewa-dewa tertinggi, sebenarnya ada relasi dengan kepercayaan terhadap
animisme. Namun Honig mendefisikan bahwa "kepercayaan itu adalah suatu
kepercayaan pada suatu allah atau dewa yang ada di latar-belakang, dewa yang
pertama-tama menetapkan, mengatur atau menjadikan berjenis-jenis hal dan kini
boleh dikatakan menjaga terpeliharanya segala apa yang ditetapkan, tetapi
semuanya itu dilakukan pada tempat yang jauh sekali, oleh karena itu ia tidak
mengambil tempat yang penting sekali didalam kultural atau kebaktian".
Masyarakat dalam agama suku percaya bahwa langit, bumi serta segala isinya
dijadikan oleh dewa tertinggi sehingga lebih mengenali relasi antara penguasa
dan manusia melalui kegiatan-keghiatan ritual seperti jamuan bersama. Misalkan
seperi orang Me di Pantai selalu ditujukan keberadaan sang pencipta dan
penguasa itu bahwa "kowake wado" artinya dewa tertinggi
berjenis-kelamin kali-laki yang ada diatas langit dan "kowakau miya"
dengan pengertiannya dewa berjenis kelamin wanita yang ada dalam alam ini.
Kepercayaan orang Me ini menyimpulkan bahwa dewa tertinggi yang ada diatas
langit berperan sebagai pencipta dan dewa tertinggi yang berdiam dalam kosrnos
ini berperan sebagai pemelihara dan penyubur segala yang ada diatasnya. Segala
yang ada di dalam alam itu adalah ciptaan asli yang selalu diungkapkan melalui
upacara-upacara keagamaan bagi suku.
4. Totemisme
Kepercayaan
terhadap totemisme dirasa penting bagi agama-agama suku dimana-mana. Karena
didalam pemahamannya dirasama mengandung unsur-unsur terpenting menyangkut
mitosnya. Karena Dhavamony lebih dijelaskan bahwa Totemisme merupakan fenomena
yang menunjuk kepada hubungan organisasional khusus antara suatu suku bangsa
atau klen dan suatu spesies tertentu dalam wilayah binatang tetumbuhan.
Kepercayaan agama suku terhadap totemisme sangat penting menjalankan kesucian
dan keberlangsungan hidup dalam suatu totem. Menjaga kesucian ini menurut agama
suku dilarang keras mengadakan hubungan seks atau perkawinan karena dianggap
sebagai sedarah atau satu garis keturunan. Masyarakat yang menganut agama suku
terpendam deang berbagai rahasia tentang kosmos dll, memahami bahwa manusia
sebenarnya berasal dari batu, ular, kusus-kus, tanah dan lain-lain. Hal ini
misalnya secara spesifik dijelaskan oleh Kpentjgraningrat (1993; 245)
dikalangan orang Me di Paniai, dapat dibagi menjadi 5 (lima) sub-suku bangsa
yaitu 1) Eguwai, 2) Mogopia, 3) Yinatuma, 4) Wodaapa, dan 5) Makituma. Semua
marga yang ada di Paniai menurut agama suku berasal dari tiga sub-suku bangsa
tadi. Karena terjadi pemisahan pada zaman nenek moyang sehingga layak digunakan
berbagai marga lain.
G. TEORI-TEORI
AGAMA SUKU
Religi
dan ucapara religi menjadi perhatian dunia sehingga sejak abad ke-19 telah
dideskripsikan dalam kepusakaan etnografi. Usaha dan deskripsi itu ialah
kebudayaan dan masyarakat sederhana dan primitif, yaitu bersifat kuno atau
merupakan sisa-sisa kebudayaan manusia kuno. Teori tentang aza dan« asal-usul
religi yang dapat dikermbangkan oleh berbagai ilmuan atau ahli lain,
Koentjaraningrat (1987; 58) dapat dibagi kedalam tiga golongan yang diuraikan
berikut ini;
1. Keyakinan religi
Andreu Lang (1844-1912)
bukan seorang ahli antropologi, melainkan sastrawan. la menulis sebanyak enam
buah buku tentang kebudayaan yang jadikan bacaan penting dikalangan para ahli
antropologi. Diantaranya buku-buku yang mengandung teori itu dengan judul
"The Making of Religi (1898). Kontant dalam buku itu intinya dua bagian;
gejalah para prikologi, dan tokoh dewa tertinggi yang merupakan keyakinan
bangsa-bangsa primitif.
Bagian pertama
Andrew Lang menitik beratkan bahwa "jiwa manusia ada suatu kemampuan gaib
yang dapat bekerja lebih kuat dengan makin lemahnya aktivitas pikiran manusia
yang rasional. Karena itu gejala gaib itu bisa bekerja lebih kuat pada
orang-orang bersahaja yang kurang aktif hidup dengan pikirannya. Menurut Lang
kemampuan gaib pada manusia bersahaja zaman dahulu itulah menyebabkan timbulnya
konsep jiwa.
Bagian kedua
Andrew Lang menguraikan mitologi suku-suku bangsa diberbagai daerah di bumi.
Dalam dongeng-dongeng mitologi itu Lang sering menemukan adanya tokoh dewa oleh
suku-suku tertentu yang dianggap sebagai dewa tertinggi, pencipta seluruh alam
semesta beserta isinya, penjaga keterlibatan alam dan kesusilaan. Keyakinan
kepada dewa-dewa itu menurut Lang terdapat pada kaum berburuh dan meramu
seperti suku bangsa di Papua, Papua Nuguni dan beberapa negara lain.
2. Sikap manusia
terhadap alam gaib atau Hal Yang Gaib
Sikap terhadap
alam Gaib atau Hal Yang Gaib dapat diuraikan oleh R. Otto dalam buku Das
Heilige (19171). Menurut Otto dalam tulisan itu berpusatkan pada semua sistem
religi, kepercayaan dan agama didunia berpusat kepada suatu konsep tentang hal
yang gaib yang dianggap maha-dasyat dan keramat oleh manusia. Sifat dari hal
yang gaib serta keramat itu adalah maha-abadi, maha-dahsyat, maha-baik,
maha-adil, maha-bijaksana, tak terlihat, tak-berobah, tak-terbatas, dan
sebagainya.
3. Upacara religi
Teori tentang
Upacara Bersaji dapat dikembangkan oleh W. Robertson Smith dalam tulisan
"Lectures on Religion of the Semites" (1889). W. Roberto adalah
seorang ahli ilmu pasti, ahli teologi, dan ahli bahasa dan kesusasteraan Semit.
Keahlian dalam bidang-bidang itu ia pernah menjadi guru besar dalam bahasa dan
kesusasteraan Arab di Universitas Camridge. Bukunya yang berjudul diatas tentang "Lectures on
Religion of the Semites" sebenarnya merupakan suatu rangkaian ceramah.
Dalam ceramah-ceramah tersebut Robertson Smith mengemukakan tiga gagasan
penting yang menambah pengertian kita mengenai azas-azas religi dan agama pada
umumnya, yaitu ;
Gagasan pertama; mengenai soal bahwa
disamping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara juga merupakan suatu
perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi dan analisa y.ahg
khusus. Hal yang menarik bagi Smith adalah bahwa dalam banyak agama upacaranya
ihi tetap, tetapi latar belakang, keyakinan, maksud atau doktrinnya berobah.
Gagasan yang kedua; adalah bahwa upacara religi atau agama, yang biasariya
dilakukan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang
bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan
solidaritas masyarakat. Pemeluk ini menganggap bahwa melakukan upacara adalah
suatu kewajiban sosial. Gagasan Roberth Smith yang ketiga adalah; tentang
fungsi upacara bersaji. Pada pokoknya upacara seperti itu, dimana manusia
menyajikan sebagian dari seekor binatang, terutama darahnya, kepada dewa,
kemudian memakan sendiri sisa daging dan darahnya, oleh Robertson Smith juga
dianggap sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengah dewa
atau para dewa. Dalam hal ini dewa atau para dewa dipandang juga sebagai warga
komunitas, walaupun sebagai warga yang istimewa.
H. UNSUR-UNSUR
AGAMA SUKU
Didalam
agama suku menjumpai beberapa unsur penting yang harus dipelajari sesuai
konteksa pemahaman yang berbeda dikalangan agama-agama suku.
1. Mitos
Di dalam mitos
terdapat cerita suci, yaitu; "kata-kata atau watak dalam suatu dongeng,
ataupun cara berceritanya yang penuh arti".. Beberapa cerita secara jelas
dan eksplisit bersifat suci karena sangkut paut dengan makhluk-makhluk
adikodrati, roh-roh yang berkuasa. Mitos menceritakan bagimana suatu keadaan
menjadi sesuatu yang lain; bagimana dunia yang kosong menjadi berpenghuni;
bagaimana situasi yang kacau menjadi teratur; bagimana yang tak dapat mati
menjadi mati; bagaimana musim menggati iklim yang tidak lagi bermusim dll.
Mitos
mempuinyai fungsi yang sangat dalam, karena didalam mitos mengisahkan yang
diceritakan untuk menetapkan kepercayaan tertentu, berperan sebagai peristiwa
pemula dalam suatu upacara atau ritus, atau sebagai model tetap dari perilaku
moral maupun religius. Mitos adalah cerita sejati mengenai kejadian-kejadian
yang bisa dirasa telah turut membentuk dunia dan hakikat tindakan moral, serta
menentukan hubungan ritual antara manusia dengan penciptanya atau dengan
kuasa-kuasa yang ada. Fungsi utama mitos bukanlah untuk menerangkan atau atau
menceritakan kejadian-kejadian historis dimasa lampau, bukan pula untuk
mengekspresikan fantasi-fantasi dari impian suatu masyarakat. Tujuan utama dari
tradisi suci bukanlah mau memberikan dasar peristiwa awali mengenai masa lampau
yangxjaya untuk diulangi lagi dimasa kini.
Fungsi utama
dari mitos dalam kebudayaan primitif ialah mengungkapkan, mengangkat dan
merumuskan kepercayaan, melindungi dan memperkuat moralitas. Menjamin
efisienasi dari ritus serta memberi peraturan-peraturan praktis untuk menuntut
manusia. Menurut antropologi fungsionalitas mitos adalah kekuatan yang
mempranatakan masyarakat itu sendiri.
Dalam
pembatasan mitos, dapat mengisahkan sejarah suci, serentetan peristiwa yang
terjadi pada awal mula, pada masa primoldial, waktu dari segala permulaan.
Mitos menceritakan perbuatan dan tindakan para makhluk adikodrati pada awal
mula, yang menyebabkan dunia atau bagian dari dunia menjadi ada, sebagaimana
sekarang ini. Pelaku dalam mitos adalah makhluk-makhluk adikodtrati yang
bertanggung jawab atas segala sesuatu sebagaimana adanya sekarang, karena
kenyataan yang ada di hadapan kita adalah akibat dari tindakan mereka pada awal
mula. Mitos sungguh dikenal sebagai sejarah' yang suci karena selalu mengacu pada
kenyataan. Mitos terdiri dari beberapa macam; Pertama; mitos penciptaan, yang
menceritakan tentang penciptaan alam semesta Kedua; mitos kosmogonik takni
mitos yang mengisahkan penciptanya alam semesta, hanya saja penciptaan tersebut
menggunakan sarana yang sudah ada, atau dengan perantara.
Ketiga;
mitos-mitos asal usul; menceritakan asal mula atau awal dari segala sesuatu,
seekor binatang, suatu jenis tumbuhan, sebuah lembagadan sebagainya.
2. Ritual
Tindakan agama
dalam upacara (ritual) dapat dikatakan bahwa ritual merupakan agama dalam
tindakan. Bila seorang beragama mesti mempertahankan pengalaman asli
religiusnya dengan relasinya yang melampaui pengalaman biasa dengan yang ilahi,
ia harus mengungkapkan ini lewat bentuk-bentuk simbolis yang bersifat empiris
dan menjadi bagian dari wilayah profan.
Ritual diantara
suku-suku primitif, praktik-praktik kultus berupa bentuk-bentuk dari sesajian
sederhana buan-buahan pertama yang ditaru dihutan atau ladang, sampai pada
upacara-upacara yang rumit ditempat-tempat suci ataupun umum. Tari-tari
pemujaan di lakukan di Afrika dengan upacara-upacara yang rumit. Pada upacara
tersebut para peserta mengenakan topeng-topeng dengan maksud
mengidentifikasikan diri mereka dengan roh-roh. Tujuan upacara ini sendiri adalah
untuk mewujudkan atau mengulangi peristiwa primordial serta roh-roh leluhur
atau dewa-dewa dipuaskan dan keamanan mereka dijamin.
Ritual juga
mengandung makna, karena Susanne Langer memperhatikan bahwa ritual merupakan
ungkapan yang lebih logis dari pada psikologis. Ritual dapat dibedakan menjadi
4 (empat) macam :
a. (Tindakan magi, yang dikaitkan dengan penggunaan
bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistik. Magi terdiri dari dua yaitu
magi putih dan hitam
b. (Tindakan religius, kultus para leluhur, juga bekerja
dengan cara ini;
c. (Ritual konstitutif yang mengungkapkan atau mengubah
hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistik, dengan cara
ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas, dan
d. (Ritual faktif yang meningkatkan produktivitas atau
kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara berbeda dari ritual
konstitutif karena tujuannya lebih dari sekedar pengungkapan atau perubahan
hubungan sosial, tidak saja mewujudkan kurban untuk para leluhur dan
pelaksanaan magi, namun juga pelaksanaan tindakan yang diwajibkan oleh
anggota-anggota jemaah dalam konteks peranan sekuler mereka.
Ritual juga
merupakan tujuan tertentu yang dikemukakan oleh Van Gennep bahwa semua
kebudayaan memiliki suatu kelompok ritual yang memperingati masa peralihan
individu dari suatu status sosial ke status sosial yang lain. Ritual
penerimaan, ritual inisiasi, termasuk ritual dimasa pubertas, pertunangan dan
perkawinan, masa mengandung, dan saat kelahiran bayi, serta pernakaman
merupakan kesempatan-kesempatan utama dari ritual sebagaimana dilukiskan oleh
Van Gennep. Dalam setiap ritual penerimaan, ada tiga tahapan; perpisahan, yaitu
individu dipisahkan dari sutau tempat atau kelompok atau status; dalam tahapan
Peralihan ialah ia disucikan dan menjadi subjek bagi prosedur-prosedur
perubahan; sedangkan masa penggabungan ialah ia secara resmih ditempatkan pada
suatu tempat, kelompok, atau status yang baru.
3. Tata susila atau
ajaran moral / Keagamaan
Di dalam norma
keagamaan itu mengandung ajaran-ajaran tertentu yang ditetapkan oleh sang dewa/
pencipta atau Tuhan. Tata susila dapat diwajibkan bagi semua pengikut maupun
calon pengikut yang mengambil inisiatif sendiri dimana mereka merasa ada
pertolongan atau jawaban atas pergumulannya. Menurut Benny Giyai (Catatan
Kuliah; Maret 05) "Tata susila itu berperan sebagai norma yang diungkapkan
dalam mitos, yang mengatur tingkah laku kehidupan masyarakat sebagai individu
maupun masyarakat. Dalam mitos itu rnencatat cerita "yang suci"
sehingga penganut agama suku selalu regeneralisasikannya sebagai pengaturtata
kehidupannya.
4. Sejarah Agama
Belajar tentang
Agama tidak terlepas dari pemahaman terhadap historisnya. Historis religi
mempelajari beberapa hal penting sebagaimana yang dikatakan oleh (Giay Benny;
Kelas Matakuliah Agama-agama suku; Mei 05) bahwa; a) Asal mula religi, b)
pengaruh timbal-balik antara religi, c) perubahan-perubahan dalam religi
sepanjang zaman, d) macam-macam perkembangan baik yang negatif maupun positif,
dan , e) perkembangan bentuk-bentuk organisasi'pada orang yang seagaman.
5. Pengetahuan
Keagamaan
Pengetahuan
Agama mempelajari tentang gaib, tinggi, suci, atau Allah. Pengetahuan agama
adalah.suatu upaya manusia untuk menemukan sifat-sifat, karya serta keunggulan
tertentu yang nyata maupun tidak nyata yang dirasakan oleh manusia. Karena itu
lebih cenderung memahami bahwa agama sebagai wadah atau institusi secara
organisir maupun lokal yang terbentuk dilakukan secara individu maupun sekelompok
masyarakat disuatu tempat untuk mencari kehendak gaib, illahi atau Allah.
I. GERAKAN-GERAKAN
KEAGAMAAN
Gerakan-gerakaan
keagamaan di tanah Papua mulai timbul sejak abad ke-19. Gerakan Keagamaan itu
terus berkembang hingga dewasa ini. Gerakan keagamaan itu terdiri dari beberapa
tujuan seperti yang diklasifikasikan oleh (Giay Benni; 1986; 1). Menurut dia
terdiri dari empat gerakan keagamaan yang telah diuraikan berikut ini yaitu;
gerakan kargo (cargo cult), gerakan juru selamat (mesianisme), gerakan milenarianisme,
gerakan pribumi (nativisme), gerakan kenabian (prophetisme) dan gerakan
penghidupan kembali (revivalisme)
1. Gerakan Kargo
(Cargo cult)
Gerakan
Kargoisme (cargo cult) sering didorong oleh "okeiya eniya" atau setan
mereka yang dirasa baik sebagai penolong dan penyelamat untuk membuka kunci
memasuki jaman kelimpahan yang disiapkan dan terns diperlihatkannya.
Gerakan-gerakan Kargo di Papua terjadi banyak tempat seperti yang diungkapkan
oleh John G. Strelan (1989; 34-92) bahwa gerakan kargo muncul sebelum abad
ke-19. Gerakan itu dijelaskan bahwa di Paniai terdapat pada gerakan
"Ayii-Ayii", di kalangan suku Dani Barat Jawajiwaya terdapat' Nabelan-kabelan".
2. Gerakan Juru
selamat
Gerakan juru
selamat dapat dijalankan oleh beberapa orang Me di Paniai. Gerakan ini dapat
dibagi kedalam dua bagian masing-masing menyakut keselamatan spiritual maupun
moril yang terjadi dikalangan orang Me di Paniai. Gerakan keselamatan spiritual
dapat diwujudkan oleh Yusuf You di Uwebutu, namun gerakan moril dapat
dijalankan oleh Wediweida Pigome, Marthen Utii, dan Yosia Keiya kaitannya
dengan relasi "abeuguwo" di gunung Deiyai, serta gerakan juru selamat
lainnya, seperti teologi barat yang mulai dikembangkan di daerah pedalam sejak
tahun 1938 ketas tentang kedatangan Mesias di bumi sebelum tahun 2000 (lima
tahun yang lalu dari sekarang ).
3. Gerakan
Milenarianisme
Belakangan ini
terjadi banyak gerakan yang hubungannya dengan gerakan kebangkitan Roh Kudus.
Didalam gerakan ini banyak menafsirkan peranan roh yang ada dalam Alkitab
menjadi dasar pikiran dalam gerakan itu. Dalam konsep gerakan itu meramalkan
tentang kedatangan Yesus Kristus kedalam dunia sekitar tanggal 9-9-1999, ada
yang dilarang makan makanan yang dipakai dengan keenakan seperti garam, vetsin,
minyak serta lainnya, disamping itu juga mereka tidak mau pake barang-barang
dengan bernomor. Gerakan ini hanya berorientasi pada tanda-tanda akhir zaman
sebagai tanda kedatangan Yesus kedalam dunia ini.
4. Gerakan Pribumi
Salah satu
gerakan keagamaan bagi masyarakat Papua adalah gerakan pribumi. Gerakan ini
berorientasi pada suatu kebebasan atau kemerdekaan secara seutuhnya akibat
sikap kemanusia secara hegemoni yang dibuat oleh penguasa. Artinya bahwa
keselamatan bagi orang Melanesia atau Papua dunia dewasa ini (Strelan; 1989)
adalah "keselamatan yang akan dialami sekarang ini, dunia ini, dan abad
ini dan ini akan melibatkan semua tatanan masyarakat yang ada. Ini adalah
keselamatan yang kongkret, keselamatan duniawi yang diharapkan orang-orang
Malanesia". Secara empiris dapat melihat terhadap sikap dan pelanggaran
kemanusiaan yang dibuat oleh penguasa terhadap masyarakat pribumi antara lain
ialah ekploitasi kekayaan alam, intimidasi, pembunuhan serta perlakukan
kemanusiaan lain yang lama dirasakannya. Semua perlakukan ini lahirlah suatu
gerakan pribumi untuk keluar dari paradigma itu supaya masyarakat pribumi
mengalami kelegaan secara sempurnya. Karena itu gerakan pribumi adalah suatu
gerakan yang lahir dari hati nurani manusia untuk mempertahankan jati diri
orang pribumi yang memiliki harkat dan martabat manusia. Demi mempertahakan
jati diri itu masyarakat pribumi pernah menyikapi dengan kontak sifik melawan
orang-orang luar yang datang menguasai di daerah ini. Masalah-m3$a|ah
kemanusiaan yang dialami ada|g|^; perang Jepang sekitar tahun 1944, perang
QfrSni? 1?§§/ Bfffl!?er9nf3Kan senjata yang dipirripin oleh Fery Awom pada
tahun 1965 di Manokwari singga dewasa in, peristiwa 1969 di Paniai, dan
pergolakan masyarakat
Jayawijaya
sejak Tahun 1977 hingga hari ini. Gerakan ini memperjuangkan nasip bangsa
pribumi yang kian lama berjuang baik dihutan-hutan, dialog, diplomas!, melalui
tulisan-tulisan ilmiah berupa buku serta penerbitannya termasuk juga metode
yang layak keluar dari segala bentuk perlakuannya.
5. Gerakan Kenabian
Gerakan
kenabian terjadi di beberapa tempat di tanah Papua dimana tua-tua mendapat
penglihatan atau gambaran baru melalui bertapa, meditasi atau cara lain yang
dianggap layak untuk menerima petunjuk dari yang punya kuasa. Semua berita
diterima oleh sang maha kuasa dapat menganalisa bersama sesuai kontek perubahan
yang terjadi. Karena itu gerakan ini dapat dipimpin oleh seorang karismah
sesuai petunjuk Tuhan untuk menerima wahyu Allah bagi manusia dan disampaikan
kepada warganya. Bering jawaban dari pergumulan itu dapat dijumpai dan terjawab
dengan petunjuk yang ada.
6. Gerakan
Penghidupan Kembali
Gerakan
penghidupan kembali belakangan ini telah menjadi kenyataan di mana-mana
khususnya di kalangan masyarakat Papua. Isu yang berkembang dikalangan
masyarakat ialah tentang penghidupan kembali bagi orang-orang mati sejak dahulu
maupun yang baru. Karena sering mereka datangi untuk beritahukan berita-berita
penting menyangkut beban hidup yang perlu diselesaikan, masalah-masalah yang
akan dihadapi, serta masalah lainnya. Mereka datang bentuk tubuh seperti biasa
namurt hanya kelainannya terdapat pada kulit dan rambutnya. Kehadiran mereka
menunjukkan bahwa manusia yang telah meninggal dunia akibat berbagai macam
prosesnya serta diserang penyakit selalu ada disamping orang-orang yang masih
hidup sehingga dapat dijumpai hanya terbatas orang.
J. AGAMA
MIS/ONER DAN AGAMA SUKU DI PAPUA
Agama
yang diberitakan oleh utusan misi dan agama suku di Papau menjadi persoalan
Teologis yang mendasar disepanjang masa, dimana masing-masing penganutnya dapat
mempertahankan ajaran terhadap umatnya. Kedua pengaut ini saring terjadi
benturan ketika masing-masing mengekspresikan ajarannya. Pembawa agama baru
atau mereka dicas otaknya dengan pengajaran itu tanpa menyadari dapat d-iserang
bahwa penganut agama lokal dianggap sebagai penyembah berhala, setan, batu,
ular sehingga terjadi singkretisme. Siasat yang dibuat oleh pembaha agama baru
diibaratkan dengan lempar batu sembunyi tangan, artinya tahapan pertama utusan
misi buka sekolah-sekolah di Papua untuk mentransformasikan ideologi itu kepada
anak-anak daerah. Tujuannya ialah supaya setelah mereka dibekali dengan
pengetahuan baru sendiri menantang terhadap ajaran atau doktin yang dipelajari
oleh masyarakat pribumi. Agama suku meminiliki nilai yang sangat dalam dimana
mereka tanpa kekerasan dan pemaksaan diri terhadap orang lain masih
mempertahankan ajarannya dengan bentuk liturginya, sekalipun selalu terjadi
singkrenisme yang mencemarkan identitas agama lokal.
K. KESIMPULAN
Semua
agama yang dianut oleh penduduk dunia baik yang terorganisir maupun agama-agama
lokal sebenarnya upaya mencari kehendak Allah yang sesungguhnya. Karena agama pada
hakekatnya dalah hasil analisis terhadap pewahyuan yang diterima melalui
upacara keagamaan yang disertakan dengan ritual yang ada. Agama yang diyakini
dirasa bahwa didalamnya terkandung unsur penting bagi banyak orang maupun suku
itu sendiri. Agama sebenarnya diterima bagi semua suku dan bangsa supaya
masing-masing itu dapat mengikuti melalui simbol-simbolnya yang dianggap maha
kuasa. Tuhan itu Maha El
-Shadai
berarti ia bekerja di.dalam plilaritas agama dan budaya yang diterima oleh
masyarakat. Karena itu tidak ada agama didunia yang "super power"
atau lebih istimewa dari agama-agama lain untuk menguasai seluruh dunia dengan
bentuknya sendiri tanpa kontekstualisasikan bentuk-bentuk serta pemahaman dasar
dalam masyarakatnya. Namun lebih cenderung bahwa agama sebenarnya adalah suatu
lembaga yang menyalurkan obyek keyakinan bagi manusia kepada yang berkuasa
supaya dapat terlindung dari segala cengkeraman dan sikap kemanusiaanya. Karena
Allah yang sama itu bekerja kepada orang atau suku yang dianggap tidak punya
agama supaya sifat Allah itu akan nampak dalam masyarakat yang ada. Seharusnya
semua agama perlu diberi kebebasan untuk mengungkapkan agama mereka yang
sementara masih dalam tawenan karena intimidasi serta haknya diinjak-injak oleh
ajaran yang disertakan dengan kekuasaannya atau sedang powernisasi..
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Giay Benny,
(Maret; 2005); Catalan Mata Kuliah Agama-agama suku, Program S2 Gereja dan
Masyarakat STT Walter Post Jayapura.
Honig A.G (1997);
llmu Agama, BPK. Gunung Mulia, Jakarta
Strelan G. John,
(1989); Kargoisme di Malanesia, Pusat Studi Irian Jaya
Koentjaraningrat,
(1987); Universitas Indonesia Jakarta
Eliade Mireea,
(2002); Sakral dan Pro/an, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta
Dhavamony;
(1995); Fenomenologi Agama, Kanisius Yogyakarta
Alua Agus (2003);
Karakteristik Dasar Agama-agama Malanesia, STFT Fajar Timur Jayapura, Papua
Kotouki Menase,
(2003); Diktat Matakuliah Etnografi Irian Jaya, STT Walter Post Jayapura.
Hadiwijono,
(2003) Religi Suku Murba di Indonesia, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta
Lefebure, (2003);
Penyataan Allah, Agama, dan Kekerasan, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta
Hendropuspito,
(1989); Spsiologi Agama, PT. BPK Gunung Mulia. Jakarta
Richardson, (1993);
Anak Perdamaian, Yayasan Kalam Hidup, Bandung —-
——------ ((t993);
Penguasa-Penguasa Bumi —-———-——-
Shhoorl, (1997);
Kebudayaan dan Perubahan Suku Muyu dalam arus Modemisasi Irian Jaya, PT.
Gramedia Jakarta
Schereiter
(1996); Rancangan Bagun Teologi Lokal; PT.BPK. Gunung Mulia, Jakarta.
Heriyanto A.
(2003) ;Jurnal Antropologi Papua, Laboratorium antropologi Universitas
Cenderawasih Jayapura.
Manja I, (1996);
Spiritualitas Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Sidjabar (1994);
Strategi Pendidikan Kristen, Yayasan ANDI; Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar